Setelah wafatnya Umar bin Khattab ra dan Ustman bin
Affan ra, Imam Ali bin Abi Thalib lebih senang hidup menyendiri, jauh dari
lingkungan kehidupan masyarakat kota.
Suatu malam, pernah Imam Ali bin Abi Thalib duduk
menyendiri di rumah. Di malam itu udara dingin mulai menyengat tubuh sedangkan
ia hanya mengenakan pakaian biasa dan burdah* usang yang melilit di lehernya.
Mata beliau tertunduk kebawah sambil bertasbih tak henti hentinya. Tiba tiba
seorang laki laki datang ke rumahnya. Ia disebut Abu Maryam. Setelah
dipersilahkan masuk, ia bersila dihadapan Imam Ali ra. Kedua tangannya memegang
lutut beliau. Dengan penuh tawadhu’, ia berbisik kepada imam Ali ra “Ya Amirul
Muminin, saya ada perlu sedikit”. Imam Ali pun berkata “Silahkan sebut
keperluanmu”. Kemudian Abu Maryam berkata “buanglah burdah yang kau lilitkan di
lehermu. Sesungguhnya burdah itu sudah usang tak pantas seorang Amirul Muminin
seperti kamu mengenakanya”.
Mendengar ulasan Abu Maryam Imam Ali ra menagis
tersedu sedu. Hal ini membuat Abu Maryam menjadi malu telah melontarkan kata
kata yang menyinggung perasaan beliau. Setelah Imam Ali ra mulai redah dari
tangisanya beliau pun berkata “Ya Aba Maryam, sesungguhnya setiap kali aku
mengenakan burdah ini, timbul kecintaanku yang meluap luap kepadanya. Burdah
ini hadiah dari temanku yang paling aku cintai”. Abu Maryam penasaran ingin
tahu siapa gerangan teman beliau yang paling dicintainya. Ia langsung bertanya
“Siapa gerangan temanmu yang paling kau cintai itu?”. Imam Ali pun menjawab
“Umar bin Khattab. Umar bin Khattab kekasih Allah dan Allah kekasih Umar”.
Kemudian beliau menangis lagi sambil mengusap air mata beliau dengan ujung
burdahnya*.
Wallahua’lam
* Burdah artinya syal atau selendang yang digunakan
untuk menutup sebagian tubuh
* Sumber: Kitab “Tarikh al Madinah al Munawarah
Hikmah Dan Atsar:
Dari kisah di atas kita bisa mengambil bukti kuat
akan kecintaan Imam Ali ra kepada sahabat Umar bin Khattab ra, sampai sampai
beliau tidak memilih baginya burdah yang dicintainya kecuali burdah hadiah yang
dating darinya, walau burdah itu sudah usang.
Makanya, Disamping kewajiban kita sebagi muslim
mencinta Ahlul Bait, kita diharuskan pula mencintai para sahabat Nabi saw.
Karena mereka adalah manusia manusia mulia yang hidup di zaman Nabi saw,
mengenal dan melihat Nabi saw, membela Nabi saw di saat kesusahan dan
kesenangan, dan mereka wafat dalam keadaan muslim.
Bahkan diantara mereka ada mempunyai hubungan
karabat dengan Nabi saw misalnya empat khulafur Rasyidin, terutama Ali bin Abi
Thalib ra disamping ia adalah menantu Nabi saw (menikah dengan siti Fatimah
puteri Nabi saw) juga ia adalah sepupu Nabi saw. Begitu pula Utsman bin Affan
yang merupakan putra dari sepupu Nabi saw yakni Arwa (putri dari bibi Nabi saw,
al-Baidha’ binti Abdul Muththalib), ia juga menikah dengan dua putri Nabi saw
secara bergantian yaitu Ruqayyah dan Ummu Kaltsum ra . Sedangkan Umar bin
Khattab merupakan mertua Nabi saw. Beliau menikah dengan Hafshah binti Umar bin
Khattab ra. Begitu pula Abu Bakar Siddiq merupakan mertua Nabi saw, karena
’Aisyah putri Abu Bakkar ra dinikahi Nabi saw.
Mereka semua sahabat Nabi saw yang sangat dekat
hubungannya dengan Nabi saw. Mereka semua mencintai Nabi saw. Inilah salah satu
alasan mengapa Nabi saw sangat mencintai para sahabatnya. Beliau tidak segan-segan
memuji para sahabatnya dan menyebutnya sebagai generasi terbaik dalam sejarah
Islam.
“Dari sahabat ‘Imron bin Hushain ra ia berkata. Nabi
SAW bersabda, ”Sebaik-sebaik generasi adalah generasiku, kemudian generasi
sesudahnya lalu generasi sesudahnya”. (Shahih al-Bukhari).
Sebagai manusia tentu para sahabat Nabi saw tidak
luput dari kesalahan dan terjadi antara mereka perselisihan faham bahkan
sampai terjadi kekhilafan. Tapi semua ini tidak bisa dijadikan tanda kalau di
antara para sahabat tidak terjalin persaudaraan yang sangat erat, tidak
terjalin persahabat yang akrab, atau tidak terjalin rasa cinta antara mereka.
Justru sebaliknya, jalinan persahabatan dan kecintaan atara mereka tidak putus.
Berapa banyak hadits Nabi saw yang meriwayatkan indahnya pergaulan antara
sahabat Nabi yang harus diteladani oleh umat Islam.
Antara khulafa ar-Rasyidin, Abu Bakar, Umar, Utsman
dan Ali ra tidak sedikit terjalin hubungan kecintaan antara mereka, bahkan
sampai terjadi tali kekeluargaan yang tidak bisa dipisahkan oleh apapun.
Contohnya Ali bin Abi Thalib ra memberi nama dari putra putranya dengan nama
Abu Bakar, Umar dan Utsman. Dari putra putra Hasan bin Ali ra ada yang diberi
nama Abu Bakar dan Umar. Dari 9 putra Husen Bin Ali bin Abi Thalib ra ada yang
bernama Abu Bakar dan Utsman. Sekarang kita pikir saja dengan pikiran yang
waras tidak mungkin mereka memberi nama nama putra putra mereka dengan nama
nama orang yang mereka benci atau tidak mungkin mereka memberi nama nama anak
anak mereka dengan nama nama musuh mereka. Mustahil kan? Pasti mereka memberi
nama nama putra putra mereka dengan nama nama orang yang mereka cintai dan
sukai. Ini sudah pasti. Yang saya heran ada yang mengatakan cinta mereka kepada
sahabat sahabat Nabi saw adalah cinta berpura pura atau taqiyah. Sikap yang
tidak mungkin terjadi bagi sosok manusia seperti Ali bin Abi Thalib ra, seorang
pemberani, pahlawan perang dan berhati bersih ,memiliki sifat berpura pura. Dan
tidak mungkin beliau memiliki sifat balas dendam atau mengajarkan orang untuk berbalas
dendam. Sejara logika, ini adalah hal yang mustahil dilakukan seorang seperti
Imam Ali bin Abi Thalib ra.
Jadi apa yang sebenarnya diajarkan oleh Ahlul Bait?
Mereka mengajarkan kecintaan, persahabatan dan penghormatan yang dalam kepada
para sahabat Nabi saw terutama kepada khulafa Ar-Rasyidin (Abu Bakar, Umar,
Utsman dan Ali ra, bukan menanamkan kebencian dan penghinaan apalagi melaknat
atau mengkafirkan (al’iyadu billah). Rasulallah saw bersabda ”Jangan kamu
mencaci sababat sahabat-ku. Demi yang diriku berada di tangan-Nya, seandainya
seseorang menginfakan hartanya berupa emas sebesar gunung Uhud (untuk membalas
jasa jasa mereka), maka apa yang diinfakan tidak sampai bebesar mud atau
setengah mud dibanding dengan jasa mereka.
Maka mari kita hindari berbantah-bantahan dan
perdebatan yang tidak mengajak kepada iman. Apalagi di depan kita sudah
tersedia sabda Nabi saw yang tidak mungkin diingkari lagi. Tidak ada pilihan
lain kecuali kita mengimaninya dengan sepenuh hati. Janganlah kita bermental seperti
ahli kitab yang mengingkari nabinya serta membangkang terhadap petunjuknya.
Untuk Download Artikel Klik Gambar
No comments:
Post a Comment